Aksi demo Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (AMUK) di gedung rektorat (Foto : Pribadi) |
Sebagai mahasiswi yang pasif berdemo, saya hanya mengamati dan merasakan dampak dari demo tersebut. Mau foto aksinya juga rada ngeri, hehehe (gak punya naluri jurnalis). Akhirnya saya minta ditemani teman seangkatan saya, Supriyadi, saat mengambil foto di gedung rektorat.
Dulu sekali, sebelum saya mengenal dunia komunikasi, saya sangat anti terhadap demonstrasi mahasiswa. Buat apa demo? Panas-panasan, teriak, capek, pegal karena berdiri terus. Saya berpikir semua itu akan sia-sia. Namun pandangan saya berubah semenjak mengikuti kuliah politik bersama Pak Idham Holik di semester pertama. Demonstrasi merupakan representasi demokrasi. Semua orang berhak menyuarakan pendapatnya, termasuk dengan turun ke jalan. Tanpa suara mahasiswa yang berdemo tahun 1998, Indonesia tidak akan menjadi seperti ini (meskipun menurut saya Indonesia prematur untuk reformasi).
Dalam tulisan ini saya akan coba berpendapat, menyuarakan pikiran saya (boleh dong, negara ini demokrasi, kan?). Meski saya bukan anak jurnalis yang kritis abes, saya akan mencoba menganalisis dengan persepsi sendiri. Berhubung saya mahasiswa public relations, jadi agak-agak sedikit memasukkan teori branding. Hahahaha.. (apa sih!)
Demo diadakan oleh Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi (AMUK). Wow, namanya saja sudah amuk! Pantas saja mereka bertingkah seperti orang ngamuk. Dari nama kelompoknya sudah menciptakan citra rusak dan tidak intelek, padahal mahasiswa lho! Jangan percaya deh, sama teori Shakespeare "Apalah arti sebuah nama?". Padahal nama itu yang akan memberikan ciri kepada kita. Nama yang akan menjadi identitas dan diferensiasi kita diantara kelompok sejenis lainnya. Selama lebih dari dua tahun jadi penghuni kampus dan wara-wiri, baru kali ini lho dengar AMUK. Mereka kurang famous, dan karena itu pemberian nama harusnya diperhatikan. Kalau jelek, ya ganti nama. Jadi, kesimpulan pertama adalah salah memilih nama.
Demo kali ini agak ganjil menuruk saya. AMUK menyuarakan tentang pemecatan 15 satpam dan menolak outsourcing di kampus. "Trus urusannya sama mahasiswa apa?", batin saya. Okelah teman-teman bilang "Kita sudah bayaran mahal-mahal. Satpam diberhentikan. Lalu uang bayarannya kemana?". OMG. How could you say that? Biaya operasional tak hanya sekedar membayar satpam. Namun gaji dosen, pegawai, kebersihan, pemeliharaan & pembangunan fasilitas, listrik, air, internet, dll. Memang pengelolaan fasilitas kampus untuk mahasiswa masih belum begitu baik, tetapi cobalah melihat lebih luas lagi. Kesimpulan kedua adalah pemilihan topik yang kurang greget, kurang bernilai berita, kurang magnitude kalau kata dosen penulisan humas saya.
Analisa lain berkaitan dengan isu di atas sih, kayaknya ganjil saja kalau cuma mahasiswa protes satpam dipecat tapi sampai 'segitunya' merusak. Kasus ini rentan diintervensi pihak luar, pihak selain mahasiswa. Bagaimana mahasiswa Unisma yang masih hedonis, yang kalau ada seminar cuek-cuek aja, lalu bisa mendadak heboh hanya gara-gara satpam dipecat? Terlalu sepele menurut saya.
AMUK menuliskan tuntutannya dalam secarik kertas. Alhamdulillah saya mendapat kertas ini dan bisa dijadikan sumber informasi. Tapi dalam surat tersebut banyak salah ketik dan auto correct yang kurang tepat. "Kayaknya mereka ngetiknya terlalu bersemangat, Wid! Jadinya banyak salah begini" ujar Danik, teman sekelas saya. Padahal surat tuntutan itu akan dibawa dan diajukan ke pihak rektorat juga yayasan. Euleuh, malu dong, masa' mahasiswa masih belum bisa menulis dengan EYD. Mau dikemanakan muka dosen Bahasa Indonesia kalian? Kesimpulan ketiga adalah, silakan belajar menulis dengan baik dan benar.
Surat tuntutan dari AMUK. Silakan klik untuk perbesar (Foto : Pribadi) |
Yang lebih terasa bagi mahasiswa pasif seperti saya adalah dampaknya. Dampak dari demo adalah pintu gerbang digembok alias disegel, dan semua mahasiswa terkunci di dalam kampus saat jam makan siang. Rahayu, teman saya yang sedang sakit sampai tidak bisa pulang. Saking nekatnya, ada beberapa mahasiswa yang menaiki motornya di tangga UPCM agar bisa keluar kampus. Kasihan sekali mereka harus menaikkan motornya di puluhan anak tangga. Pegal? Pasti.
Ayo, diangkat motornya (Foto : Jurnalistik Ilkom Unisma) |
Mau tahu dampak yang lebih besar? Kalian mahasiswa berteriak "Kemana uang bayaran kami?", sebentar lagi kalian akan melihat kemana uang bayaran kalian. Uang bayaran akan di-alokasikan untuk membenahi fasilitas kampus yang rusak ini. Mau lihat?
Hasil pengerusakan fasilitas oleh demo mahasiswa (Foto : Pribadi & Jurnalistik Ilkom Unisma) |
Kesimpulan ke-empat adalah, uang bayaran mahasiswa akan banyak terpakai untuk membenahi fasilitas yang rusak akibat demo. Berdo'a saja semoga Unisma tidak krisis finansial.
Oh iya, ada lagi dampak yang lebih besar! Ada beberapa stasiun TV yang meliput. Kalian tahu apa artinya? Kita akan masuk TV. Kabar baik? Bukan, kabar buruk! Berdo'a saja semoga liputannya gak lolos meja redaksi dan Unisma terhindar dari buah bibir negatif masyarakat Indonesia, terutama Kota Bekasi. Mudah sekali merusak reputasi, bukan?
Saya juga menyesalkan sikap rektorat ketika menghadapi mahasiswa, sih.. Ada yang melipat tangan di dada. Sikap itu malah akan menimbulkan kesan negatif dan defensif terhadap lawan bicara. Bernegosiasi sambil berdiri pun juga akan meningkatkan level emosi. Gak heran deh kalau sampai saat ini belum ada kesepakatan terjadi. Kesimpulan ke-lima, perhatikan bahasa tubuh Anda. Hehehe...
Suasana saat mahasiswa yang berdemo bertemu dengan pihak rektorat (Foto : Jurnalistik Ilkom Unisma) |
Trus, harusnya gimana nih jadi mahasiswa?
Peduli itu sangat baik, apalagi terhadap masyarakat. Mahasiswa memang harus turun dan menjadi sahabat masyarakat. Namun, packaging dari kepedulian itu juga bukan tindakan merusak. Coba buka change.org. Lihat bagaimana pemuda seantero dunia melakukan perubahan dengan membuat petisi. Kita bisa membuat aksi yang lebih membuat rektorat dan yayasan syock namun bukan dengan merusak. Buka kasusnya, munculkan sisi humanis dari kasus pemecatan satpam tersebut (saya yakin banyak yang peduli), ajak teman-teman membuat petisi besar-besaran (mahasiswa Unisma kan, ribuan. Pasti seru kalau semuanya bisa ikutan).
Beraksi memang jauh lebih baik daripada hanya berbicara. Namun aksi juga butuh persiapan, atau kita akan hina di medan perang.
Selamat sore, teman-teman.. Mari kita pulang, gerbang kampus sudah dibuka kembali :)
tolong di klarifikasi dong berita terkait....
ReplyDeleteanda tau memanusiakan manusia seperti apa??
coba anda bayangkan jika satpam tsb itu orang tua anda, ?
jeng anda mahasiswa, kaum intelek .
jangan cuma belajar teori yang ga jelas....
tolong klarifikasi lagi ya...
halo, yogi.. thanks a lot for ur response above this article :)
ReplyDeletesaya mengkritisi bukan berarti saya tidak peduli dgn keadaan yg terjadi. silakan baca tulisan saya sampai habis di bawah, insyaAlloh yogi akan menemukan tulisan ttg alternatif pemikiran saya terhadap kasus ini.
anyway, kamu juga mahasiswa kan? berarti kamu tau darimana asal teori dan untuk apa teori tsb?
saya di sini bukan asal berbicara. saya meyakini apa yg saya katakan, karena saya pernah mengalaminya. menarik kepedulian teman2 & masyarakat kampus bukan hal mudah, perlu tenaga ekstra. namun, masih banyak teman2 yg mempunyai tingkat kepedulian tinggi di kampus.
Silakan amati, tiru, dan modifikasi apa yang saya & teman2 jurusan Ilmu Komunikasi lakukan pada Januari 2012 (silakan cek di arsip blog saya). Kami pernah membuat aksi kepedulian sosial "Gerakan Satu Hati".
Selamat berproses menjadi manusia :)
iyaaaa mengerti tapi saya tidak suka sama salah satu kutipan kalimat anda " apa hubungannya mahasiswa sama satpam? ..
ReplyDeleteaduh sista lucu sekali..
its oke ini negara demokrasi.